Aturan Perlindungan Anak dari Kekerasan Sesuai UUD 1945

Aturan Perlindungan Anak dari Kekerasan Sesuai UUD 1945
Src Image : Pixabay.com
Aturan perlindungan anak dalam proses pendidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, dan Pasal 39 ayat (3) UU Guru dan Dosen tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Nomor 6/PUU-XV/2017, menyebut ketentuan tersebut dibutuhkan guna melindungi anak dari tindak kekerasan atau kejahatan lainnya.

Seluruh rangkaian kata dalam artikel ini bersumber dari www.mkri.id.
“Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 mengatur mengenai perlindungan anak dari tindak kekerasan atau kejahatan lainnya yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum pada Rabu (28/3).

Sebelumnya, Dasrul dan Hanna Novianti yang berprofesi sebagai guru mengalami kriminalisasi akibat keberlakuan pasal tersebut, mengajukan uji materiil terhadap tiga pasal dalam UU Perlindungan Anak serta UU Guru dan Dosen. Dalam permohonannya, Pemohon mengalami ketidakpastian hukum dan merasa tidak diperlakukan adil sehingga menjadikan posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat tekanan dari berbagai pihak. Pemohon merasa kasus kriminalisasi yang menimpanya sebagai akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan.

Lebih lanjut, Pemohon memaparkan telah mengalami kekerasan ketika mendidik siswanya. Padahal, menurut Pemohon, guru bermaksud ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka orang tua dan masyarakat mengategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan UU Guru dan Dosen. Orangtua siswa melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga seringkali guru tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap profesinya seperti yang dialami oleh Dasrul. Dasrul yang merupakan pengajar Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar yang dipukul orangtua murid, Adnan Achmad karena merasa anaknya mendapat kekerasan darinya. Namun, Dasrul menilai, penegakan kedisiplinan dengan cara hukuman menjadi tidak wajar dilakukan saat ini dengan alasan melanggar hak asasi manusia. Sehingga orang tua murid akan melaporkannya kepada pihak berwajib sebagai sebuah bentuk kekerasan. Pemohon menilai akibat adanya pasal-pasal a quo, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah. Seharusnya guru dalam menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen tersebut mestinya tidak dikriminalisasi dan dipidanakan.

Terhadap permohonan tersebut, Palguna menjelaskan Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 merupakan wujud konkret Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada setiap orang, terutama kepada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Sejalan dengan UUD 1945, prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) tidak memberikan ruang pengecualian kepada siapapun untuk melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik walaupun dengan dalih untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan peserta didik.

“Kekerasan sebagai alat untuk mendidik pada masa sekarang ini sudah tidak relevan, hukuman dalam proses pendidikan harus digunakan dalam rangka mendidik, membimbing, dan mencerdaskan peserta didik. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1a) dan Pasal 54 ayat (1) UU 35/2014 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Palguna.

Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang juga membacakan pertimbangan hukum menyebut dalam kaitannya dengan tindak pidana, baik yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik maupun oleh peserta didik terhadap pendidik, hal itu tetap merupakan tindak pidana yang dapat diterapkan kepada kedua belah pihak baik pendidik maupun peserta didik. Tindak pidana tersebut tetap mengedepankan prinsip-prinsip restorative justice dan/atau penyelesaian secara kekeluargaan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan oleh akibat yang timbul karena adanya tindak pidana baik yang dilakukan oleh pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi, ataupun pihak lain.

Dalam konteks demikian, lanjut Maria, keberadaan dan peran Dewan Kehormatan Guru haruslah dioptimalkan. Sehingga dalam hal terdapat indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pendidik, sebelum dilakukan tindakan hukum oleh penegak hukum terlebih dahulu haruslah diberikan kesempatan kepada Dewan Kehormatan Guru untuk menyampaikan pendapat dan rekomendasinya. Hal ini, jelas Maria, sesuai dengan fungsi dan peran Dewan Kehormatan Guru sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU 14/2005 yang menyatakan, “Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru”.

“Dengan cara demikian, penegakan hukum pidana benar-benar berfungsi sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” urai Maria. (Lulu Anjarsari)

Komentar